DEKONSTRUKSI PEMIKIRAN AL GHOZALI TENTANG HIRARKI PENGETAHUAN

Oleh : Pamela Maher Wijaya, S.Sos.I., M.S.I

            Abu Hamid Muhammad al-Ghazali berpartisipasi dalam kehidupan politik-keagamaan pada tahun – tahun terakhir pemerintah nizam dan kemudian menjadi sosok sentral. Ia mendefinisikan filsafat Islam dengan cara yang personal namun otoritatif, yang berkaitan erat dengan kebutuhan pada masa itu. Tidak lama stelah kematian ayahnya, al-Ghazali mempelajari fikih al-Syafi’I di Nisapur (1080 – 1085) di bawah bimbingan al-Juwaini. Kemampuannya yang luar biasa menarik perhatian Nizam al-Mulk, yang kemudian memanggilnya ke Baghdad untuk mengajar di Madrasah Nizamiyah (1091).[1]

            Namun pada tahun 1095, al Ghozali menderita gangguan fisik dan mental, yang sering dikaitkan dengan (diduga) kegalauan yang melanda pemikirannya; fase skeptisisme tampaknya telah mendorongnya untuk mempertimbangkan kembali seluruh pandangan dan cara hidupnya. Ia lalu menyerahkan jabatan dekannya di Nizamiyah kepada saudaranya (seorang sufi terkenal), dan menghilang di gurun pasir Suriah. Ia merasa bahwa ajarannya selama ini “terlampau memikirkan cabang – cabang pengetahuan yang tidak penting dan tidak berharga”, ia mau menyingkirkan segala “kekayaan dan jabatan”. Kenyataannya, al- Ghazali tidak menolak ilmu pengetahuan dan hukum; sebaliknya, ia berusaha mengidupkan kembali keduanya. Untuk tujuan itu ia menyusun (1096 – 1105) karya besarnya yang berjudul Ihya ‘ulum al-Din (Kebangkitan Ilmu-Ilmu Agama).[2]

Hirarki Pengetahuan dalam Perspektif al – Ghazali

            Kata “ Pengetahuan” (dalam bahasa Inggris Knowledge) adalah kata benda yang berasal dari kata kerja “tahu” (to know) yang semakna dengan ‘mengetahui’. Sementara itu, kata ‘ilmu’ berasal dari bahasa Arab ‘alima-ya’lamu-‘ilm yang juga berarti ‘tahu’ atau ‘ mengetahui’. Menurut bahasa kata pengetahuan bisa bermakna sama dengan ilmu.[3]

            Terma “ilmu pengetahuan” (dalam bahasa Inggris scince) sejajar dengan istilah Latin scientia, yang diturunkan dari kata dasar sciere. Menurut Henry van Laer terdapat hubungan obyektif antara istilah science dan istilah to know. Alasan yang dikemukakan adalah bahwa semua sains mencakup pengetahuan walaupun tidak setiap bentuk pengetahuan bisa dinyatakan sebagai sains. To know adalah aktivitas makluk hidup. Dengan Indranya, mereka dapat menyaksikan dan menyajikan dunia eksternal ke dalam diri (internal) mereka sendiri.

Al-Ghazali memandang pengetahuan manusia itu sesuai dengan pengetahuan mereka, sehingga al –Ghazali mengkategorikan pengetahuan dengan tiga hirarki pengetahuan. Pertama, Pengetahuan batin yang diperoleh melalui pengalaman pribadi, dan hanya dapat diperoleh melalui pengalaman pribadi, dan hanya dapat diperoleh melalui pengalaman pribadi, dan hanya dapat diperoleh oleh sedikit orang yang mendapatkannya untuk menembus kecerdasan dan pemahaman yang kuat.[4] Ilmu – ilmu yang diperoleh dengan pengalaman dengan berjalannya keadaan – keadaan. Sesungguhnya orang dididik oleh percobaan – percobaan dan dididik oleh aliran – aliran maka biasanya ia disebut sebagai orang yang berakal. [5] Kedua, pengetahuan diskursif , yaitu pengetahuan yang dikuasai oleh para filsuf, fukaha dan teolog. Ketiga, pengetahuan rakyat kebanyakan (khalayak umum), yang terserap oleh kesibukan dan pekerjaan sehari – hari, mereka hanya dapat menguasai iman atau dengan taqlid.[6]

Analisis dari hirarki pengetahuan menurut al-Ghazali ini, bahwa pengetahuan dan kapasitas mental manusia sangat berbeda mengandung berbagai pemahaman dan kenyataan tertentu yang cukup berpengaruh. Faktor yang sangat mempengaruhi pada hirarki ini adalah tingkat kepahaman, latar belakang keluarga, tingkat pendidikan, usia, pengalaman pribadi, dan bacaannya.

 


[1] Antony Black. Pemikiran Politik Islam: Dari Masa Nabi Hingga Masa Kini, Terj. Abdullah Ali (Jakarta: PT. Serambi Ilmu semesta, 2006), hlm. 190.

[2] Ibid., hlm. 191.

[3] Sutrisno. Fazlur Rahman: Kajian terhadap Metode, Epistemologi dan Sistem Pendidikan (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), hlm 91.

[4] Antony Black. Pemikiran Politik Islam, hlm. 195.

[5] Imam Al Ghazali. Ihya ‘Ulumiddin, Terj. Moh Zuhri (Semarang: Asy Syifa, 1990), hlm. 273.

[6] Antony Black. Pemikiran Politik Islam, hlm. 195.

Nasionalisme Perspektif Gerakan Ikhwanul Muslimin

oleh : Pamela Maher Wijaya

Abstraksi

Ikhwanul Muslimin menerima nasionalisme Mesir dengan prinsip pemikiran bahwa ia memiliki muatan yang Islami. Ia merupakan mata rantai kebangkitan yang mereka cita-citakan, sebagaimana akan menjadi semakin jelas nanti. Mereka menolak nasionalisme yang berarti menghidupkan Firaunisme dan mewarnai bangsa dengan paham itu atau jika nasionalisme itu terbatas pada batas-batas geografis Mesir.

 Key word: Nasionalisme, Gerakan Ikhwanul Muslimin di Mesir.

Pendahuluan.

Cinta tanah air atau Negara (wathan) mulai dipropagandakan oleh beberapa penulis Mesir dan turki sebagai sebuah kebajikan. Tahtawi (1801-1873) berpendapat bahwa seseorang dari tanah air yang sama mempunyai kewajiban yang sama satu sama yang lain, layaknya hubungan satu dengan orang lain dalam satu agama yang sama. Lutfi al-Sayyid (1872-1963), juga seorang mesir, mengaitkan “universalisme” (pemikiran bahwa tanah Islam adalah tanah air seluruh muslim) dengan imprealisme Islam (yakni: Utsmani/turki). Menurutnya, gagasan itu sudah usang dan harus digantikan dengan satu kepercayaan yang sesuai dengan ambisi setiap Negara timur yang mempunyai tanah air yaitu rasa nasionalisme (wathaniyyah). Persoalan tentang Negara-bangsa merupakan soal yang sangat pelik bagi nasionalisme Arab.[1] Gerakan yang peduli terhadap kemerdekaan dan ingin membebaskan dari penjajahan di Mesir adalah Gerakan Ikhwanul Muslimin.

Kepedulian itu terwujud dalam program organisasi Ikhwanul Muslimin itu mengacu pada tingkat dunia Arab dengan tujuan besar, yaitu membebaskan seluruh negara dari kekuasaan asing dan memperkokoh persatuan Arab. Tujuan tersebut termaktub dalam Anggaran Dasar organisasi Ikhwanul Muslimin yang berbunyi:” Memerdekakan dunia Arab dan memperkokoh persatuan Arab (Liga Arab) dengan sempurna.[2] Pendiri gerakan ini Hasan Al-Banna menegaskan bahwa Islam sebagai sebuah kebudayaan asli dan ideologi politik guna menjadikan bahasa Arab sebagai sebuah kebudayaan asli dan ideologi politik guna menjadikan bahasa Arab sebagai pemersatu, serta mendepak elit-elit mesir ter-barat-kan yang menerapkan model-model pengembangan ekonomi, sosial, dan politik barat.[3]

Ikhwanul Muslimin adalah pergerakan Islam yang didirikan oleh Hasan al-Banna di Mesir, tepatnya di wilayah Ismailiyyah pada tahun 1928.[4] Gerakan Ikhwanul Muslimin dideklarasikan oleh Hasan Al-Banna berserta empat orang ikhwan, mereka adalah pengemudi, tukang cukur, penjahit dan tukang kayu, yaitu: ’Abdurrahman Hasbullah, Ahmad Al-khudri, Zakki Al-Magribi, dan Hafidz ’Abdul Hamid.[5] Imam Syahid Hasan bin Ahmad bin Abdurrahman Al-Banna lahir pada tahun 1906 di kota Mahmudiyah, sebuah kawasan dekat Iskandariyah. Setelah menyelesaikan kuliahnya di Darul Ulum, Kairo beliau menggeluti profesi sebagai guru sekolah dasar.[6]

Pada tanggal 12 Februari 1949, Hasan Al-Banna syahid ditembak mati oleh antek-antek raja Faruq (Mesir) di salah satu jalan di kota Kairo. Ia meninggalkan karya gemilang, Majmu’ al-Rasail (Kumpulan-Kumpulan Surat), Mudzakkiratu al-Da’wati wa al- Dai’yyati, dan Risalah al-Ta’lim.[7] Gerakan Ikhwanul Muslimin didirikan untuk menjadikan Al-Qur’an dan Hadis sebagai ideologi umat Islam. Sejak Zaman Anwar Sadat terjadi perbedaan prinsipil antara Ikhwanul Muslimin dan kelompok militan mesir lainnya seperti Jihad Islam, Jama’ah Islamiyah, Tafkir Wa al-Hijra, dan Al Najun Min Al-Nar. Ikhwan memilih jalur pendidikan dan dakwah, sedangkan kaum oposisi lain memilih jalur yang lebih keras.[8]

Persoalan tentang nasionalisme, negara-bangsa merupakan masalah yang sangat pelik bagi nasionalisme Arab. Persoalan itu, karena disana tidak pernah ada prospek praktis untuk mewujudkan negara Pan-Arab. Meski demikian, banyak modernis yang melihat nasionalisme berpotensi memecah belah dan tidak cocok dengan universalisme Islam. Kaum fundamentalis melangkah lebih jauh dengan menyatakan bahwa nasionalisme adalah produk jahiliyyah, ” Setan rasis dan fanatisme nasional”.[9] Sedangkan Allal al-Fasi (w. 1972) membutuhkan nasionalisme bukan khilafah. Namun demikian, Allal tidak sependapat dengan nasionalisme murni Attarturk karena Allal mengusulkan agar syari’ah dijadikan ”the source of all modern legislation in all Muslim states”.[10] 

Makna Nasionalisme bagi Gerakan Ikhwanul Muslimin.

Gerakan Ikhwanul Muslimin menganggap batas nasionalisme adalah aqidah, beberapa pihak yang menganggap batasnya adalah teritorial negara dan batas-batas geografis. Gerakan Ikhwanul Muslimin menganggap bahwa setiap jengkal tanah yang dihuni muslim yang mengucapkan ”Laa ilaaha illallah”, adalah tanah air kami yang berhak mendapatkan penghormatan, penghargaan, kecintaan, ketulusan, dan jihad demi kebaikannya.[11] Ikhwanul Muslimin tidak sepakat jika yang dimaksud dengan nasionalisme itu adalah saling bermusuhan dan berseteru satu sama lain, mengikuti sistem-sistem nilai buatan manusia yang diformulasikan sedemikian rupa untuk memenuhi ambisi pribadi.[12]

Untuk mendeskripsikan pemikiran Ikhwanul Muslimin tentang nasionalisme digambarkan dalam 3 aspek sikap Ikhwanul Muslimin; pertama, sikap Ikhwan terhadap Patriotisme Mesir. Kedua, sikap Ikhwan terhadap  Arabisme dan konfederasi Arab. Dan yang ketiga, sikap terhadap konfederasi Islam dan Rencana Blok Islam.

Sikap Ikhwanul Muslimin terhadap Patriotisme Mesir.

Ikhwanul Muslimin mendasari perhatiannya terhadap patriotisme-sebagai afiliasi politik-dengan perasaan bangsa-bangsa Timur, yang mendapatkan perlakuan buruk barat yang telah merobek-robek kehormatan dan merampas kemerdekaan. Ikhwan melihat bahwa patriotisme pada umumnya di Mesir dan negara-negara terjajah umumnya- adalah senjata untuk melawan serangan barat, dan keterbelakangan yang terjadi kala itu.[13]

Kondisi pemerintahan kala itu terlalu tunduk kepada intervensi Asing, tingginya rasa takut, adanya aktivitas tertentu dan militer Ikhwanul Muslimin, maka telah berkali-kali terjadi bentrokan antara Ikhwanul Muslimin dengan rezim-rezim tersebut yang menolak keras adanya sebuah kekuatan politik yang didukung publik. Diantara bentrokan tersebut adalah pembunuhan pendiri Ikhwanul Muslimin, As-Syahid Hasan al-Banna pada bulan februari 1948 serta digantungkannya Ustad Sayid Qutb dan dua tokoh lainnya pada bulan Agustus 1966.[14] Kondisi ini menggambarkan betapa kuatnya intervensi asing dalam persoalan pemerintahan di dalam negeri Mesir.

Dengan demikian, Ikhwan melihat bahwa patriotisme dengan arti cinta tanah air dan merindukannya, berusaha untuk membebaskan dan memperkuatnya, serta memperkuat jalinan antar individu yang ada di dalamnya demi kepentingan bersama mereka, adalah satu gagasan yang baik dan diakui oleh Islam.[15] Pemahaman ini dapat mengembangkan rasa afiliasi yang benar, rasa tanggung jawab terhadap negerinya, serta keinginan kuat dalam berjuang untuk membebaskannya dari penjajah.

Persepsi Ikhwan yang khas tentang patriotisme adalah, mereka menghubungkan antara patriotisme dengan aqidah, dan batasan negara, berdasar hubungan tersebut. Dasar patriotisme kaum muslimin adalah Aqidah Islam. Islam menjadikan fondasi kebangsaan adalah aqidah, bukan fanatisme kesukuan. Hal ini digambarkan di dalam risalah Da’watuna fi thaur jadid , Ustadz Hasan al-Banna  menyebutkan bahwa nasionalisme Mesir memiliki tempat dan hak tersendiri dalam perjuangan dakwah mereka.[16]

” Sesungguhya kita adalahorang-orang yang berkebangsaan Mesir, karena kita lahir dan dibesarkan di negeri yang penuh berkah ini. Mesir adalah negeri orang beriman yang telah mnerima Islam denganpenuh kehormatan…….Ia adalah bagian dari tanah Arab secara global. Ketika kita bekerja untuk mesir, berarti kita juga berjuang untuk Arabisme, Timur, dan Islam.”

                                                                  (risalah Da’watuna fi thaur jadid)

Nasionalisme perspektif Ikhwanul Muslimin juga mendeskripsikan persoalan kesatuan nasionalisme (minoritas). Ikhwanul Muslimin memandang bahwa nasionalisme berangkat dari aqidah islamiyyah dan memiliki kandungan spirit Islam. Hal ini terkadang mengundang tanda tanya menyangkut sikap terhadap non-muslim di negeri Mesir. Persoalan ini digambarkan oleh Imam Hasan al-Banna tentang minoritas, khususnya minoritas suku Qibti. Beliau mengutip Surat Al-Mumtahanah ayat 8.[17]

” Allah tidak menghalangi kalian dari orang-orang yang tidak memerangi kalian dalam agama dan tidak mengsuir kalian dari kampung halaman kalian untuk berbuat baik dan berbuat adil kepada mereka, sungguh Allah mencintai orang-orang yang berbuat adil.”

(Surat Al-Mumtahanah: 8

Pemahaman tentang minoritas ditegaskan kembali oleh Ikhwanul Muslimin di dalam Nahwa An-Nur, Hasan Al-Banna menyebutkan bahwa islam melindungi kaum minoritas melalui prinsip: Islam menganggap sakral kesatuan humanisme universal dan kesatuan agama universal. Hasan Al-Banna juga menegaskan visi serupa dalam risalah yang bertajuk Ila Asy-Syabab, bahwa Islam sangat memperhatikan penghormatan kepada jalinan kemanusiaan universal di antara anak manusia, mewajibkan berbuat baik kepada sesama warga negara meskipun berbeda ideologi dan agama.

Sikap Ikhwan terhadap  Arabisme dan konfederasi Arab.

Liga Arab yang sudah berdiri sejak tahun 1945 juga tidak mampu menyatukan negara-negara Arab ataupun mencegah serta menyelesaikan konflik yang muncul diantara anggotanya meskipun dalam programnya disebutkan bahwa tujuan liga Arab ialah mewujudkan persatuan diantara anggotanya dan mencegah konflik.[18] Menyatukan negara-negara Arab tidak terlepas pada seruan nasionalisme Arab.

Ikhwanul Muslimin melakukan konfrontasi dengan pemerintah. Ketika nasionalisme liberal diserang karena kekalahan Negara dalam perang Palestina, akibat pembangunan Negara Israil oleh Amerika dan Inggris, rakyat Mesir tidak dapat memaksa Inggris untuk keluar, penganguran banyak, kemiskinan, korupsi, Ikhwanul Muslimin yang digerakkan oleh al-Banna secara kuat menaikkan kepercayaan mereka sebagai anak-anak patriotik Mesir dan nasionalisme Arab pada partisipasi signifikan mereka di tahun 1948 dalam perang Palestina dan krisis Suez di tahun 1951.[19]

Hasan Al-Asymawi memandang bahwa nasionalisme Arab, sebagai sebuah ikatan yang lahir dari kesatuan perasaan, problematika, cita-cita dan kepentingan, di tengah penduduk negara-negara ini, yang berbahasa dengan bahasa yang satu badan beriman dengan iman yang satu, dan bahkan wajar saja bila nasionalisme Arab menyeru kepada kesatuan Arab, bukanlah tujuan, melainkan bingkai pemikiran dan tradisi. Ia menolak nasionalisme Arab, jika tidak memiliki muatan keislaman.[20]

Gerakan Ikhwanul Muslimin menyebutkan bahwa Islam dan Arabisme adalah dua sejoli yang tidak terpisahkan, tidak akan ada kekekalan bagi Islam kecuali dengan Arabisme. Hasan Al-Banna menyebut bahwa Arabisme mempunyai tempat yang menonjol dalam dakwah Ikhwan. Demikian itu, karena Arab adalah umat Islam pertama. Jika bangsa Arab terhina, terhina pula Islam, yang terlahir dengan berkebangsaan Arab. Kitab sucinya datang dengan bahasa Arab yang fasih. Bangsa-bangsa lain bersatu karena Islam atas dasar bahasa Arab ini.[21] Paradigma ini mendeskripsikan bahwa ketika kedaulatan politik Arab berbalik dan berpindah ke tangan bangsa non-Arab, islam pun terhina.

Hasan Al-Banna menganggap bahwa di antara sebab-sebab keruntuhan kedaulatan Islam adalah berpindahnya kekuasaan dan kepemimpinan ke tangan non-Arab. Atas dasar itu, Ikhwan menuntut adanya sikap politik, yakni keharusan berusaha menghidupkan konfederasi (kesatuan) Arab lalu berjuang untuk membelanya.[22] Dengan demikian, Ikhwan menerima proyek konfederasi Arab, meskipun itu merupakan produk Inggris. Itu karena melihat bahwa padanya terdapat sarana yang dapat memudahkan proses komunikasi dengan berbagai bangsa yang tergabung dalam konfederasi itu, bahkan akan mendatangkan kebaikan bagi negara-negara Arab dan negara-negara Islam seluruhnya.

Sikap terhadap konfederasi Islam dan Rencana Blok Islam.

Pendiri Gerakan Ikhwanul Muslimin, Hasan Al-Banna mengistilahkan Konfederasi Islam dengan idiom jami’ah islamiyah (konfederasi Islam) dan ukhuwwah islamiyah (persudaraan Islam). Sedangkan Qutub menggunakan istilah kutlah islamiyah (blok Islam) dan terkadang kutlah tsalitsah (blok III). Untuk makna ini juga, ia mengungkapkannya dengan idiom al-ittihad al-islami (ikatan Islam) dan al-wahdah al-islamiyah (kesatuan Islam).[23]

Konfederasi islam digambarkan dengan ukhuwah, ukhuwah adalah ikatan iman yang menumbuhkan perasaan simpati, emosi yang tulus, kecintaan, kasih sayang, penghargaan, penghormatan, dan saling percaya antar orang-orang yang terikat dengan akidah tauhid dan manhaj Islam yang abadi. Perasaan itu dapat menumbuhkan sikap tolong menolong, saling mengutamakan orang lain (itsar), saling mengasihi, saling memaafkan, toleransi dan saling menanggung (takaful).[24]

Sayid Qutub mendeskripsikan latar belakang konfederasi Islam dengan mengatakan bahwa dunia terbagi menjadi dua blok besar; Barat dan Timur. Blok Barat tegak di atas prinsip imprealisme. Ini terdiri dari Amerika, Inggris, dan Prancis, yang bertujuan untuk memperbudak dan menghinakan kita. Sedangkan Blok Timur, tegak di atas landasan komunis. Rusia (Uni Soviet) dan bloknya menggabungkan diri ke negara-negara koloni Barat setiap kali terjadi persoalan yang menyangkut wilayah Islam. Rusia dan Bloknya mencuri tanah Islam di Turkistan, dan Yugoslavia. Posisinya persis sebagaimana halnya Blok Barat di Afrika Utara dan Lembah Nil.[25]

Pandangan Sayid Qutub tersebut menggambarkan bahwa persekutuan kekuataan imprealisme untuk melawan kita, menuntut kita untuk bersekutu di bawah panji Independent. ”Imprelaisme melakukan persekutuan, padahal mereka berada pada posisi yang kuat. Bagaimana mengkin kita tidak saling bersekutu, setidaknya, untuk menciptakan kekuataan serupa.”[26]

Ia mempunyai pandangan bahwa satu-satunya jalan yang sesuai dengan kejendak bangsa yang menolak ikatan apa pun dengan imprealis adalah membangun Blok Islam, yang menjamin pembebasan dari imprealisme dan menjamin kuatnya perlawanan menghadapi arus komunisme yang marak. Artinya, jalan itu adalah Blok Ketiga yang mandiri.[27]

Sayid Qutub dan Asymawi memandang Blok Islam bertujuan, pertama, mengusir penjajahan dari wilayah Islam. Kedua, mewujudkan keadilan sosial secara islami, dalam naungan konstitusi Islam. Selain tujuan itu juga mepunyai sasaran yaitu, Sasaran pertama, merealisasikan kemerdekaan seluruh bangsa yang terjajah dan menumpas imprealisme di muka bumi. Sasaran kedua, menghindarkan umat manusia dari bencana perang ketiga.[28] Blok Islam sebagai counter bagi blok barat yang ingin mengucilkan dunia Islam.

Makna Kebangsaan Bagi Gerakan Ikhwanul Muslimin.

Gerakan Ikhwanul Muslimin memandang kebangsaan sebagai definisi kebangsaan Kejayaan dan kebangsaan Umat. Kebangsaan kejayaan yang dipahami oleh Ikhwanul Muslimin, kebangsaan itu adalah bahwa generasi penerus harus mengikuti para pendahulunya dalam meniti tangga kejayaan dan kebesaran, serta kecermerlangan dan obsesi. Sedangkan Kebangsaan Umat dimaknai sebagai kebangsaan yaitu bahwa keluarga besar seseorang atau umatnya itu lebih utama mendapat kebaikan dan baktinya, serta lebih berhak dengan kebajikan dan jihadnya[29] Pandangan gerakan ini memberikan pemahaman bagi generasi penerus untuk merefleksikan diri sebagai pejuang patriotik dengan melihat dari generasi pendahulunya serta menghormati atas jasa-jasa pendahulunya.

Gerakan Ikhwanul Muslimin menggambarkan ketidaksetujuan terhadap makna kebangsaan jika makna kebangsaan adalah menghidupakan tradisi jahiliyah yang sudah lapuk, membangkitkan kenangan-kenangan usang yang sudah terlupakan, menghapus peradaban baru yang bermanfaat dan telah mapan, melepaskan ikatan Islam dengan alasan demi kebangsaan dan kebanggaan dengan etnik, sebagaimana yang dilakukan beberapa negara yang dengan berlebihan memusnahkan simbol-simbol Islam dan Arab. Makna kebangsaan ini diistilahkan oleh Ikhwanul Muslimin dengan Kebangsaan Jahiliyah.[30]

Ikhwanul Muslimin juga mengungkapkan ketidaksepakatan apabila kebangsaan dimaknai untuk membanggakan ras, hingga melecehkan ras lain memusuhinya, dan mengorbankannya demi eksistensi serta kejayaan suatu bangsa.[31]

DAFTAR PUSTAKA

Abduh, Arrafie, Nuansa Sufistik dalam Gerakan Pemikiran Ikhwan Al-Shafa’ dan Ikhwanul Al-Muslimin , Analytica Islmaica, Vol. 10. No.2., hlm. 455.

Abdullah, Muhammad Al Khathib Konsep Pemikiran Gerakan Ikhwan, terj. Khozin Abu Faqih , Bandung : Asy Syamil, 2001.

Anwar Al-Jundi, Biografi Hasan Al-Banna, terj. Khalifurrahman Fath , Solo: Media Insani Press, 2003.

Black, Antony, Pemikiran Politik Islam : Dari Masa Nabi Hingga Masa Kini, terj. Abdullah Ali, Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, 2006.

Hasan Al-Banna, Risalah Pergerakan Ikhwanul Muslimin, terj. Anis Matta, Solo: Era Intermedia, 1998.

_____________, Kumpulan Risalah Dakwah Hasan Al-Banna, terj. Khozin Abu Faqih , Jakarta: Al-I’tishom Cahaya Umat, 2005.

Hudaiby, Muhammad Ma’mun, Politik Islam Dalam Pandangan Ikhwanul Muslimin, terj. Engkos Kosasih , Bandung: Syamil, 2003.

Mahmud, Ali Abdul Halim, Metode Pendidikan Ikhwanul Muslimin, terj. Masykur Hakim  , Jakarta: Gema Insani Press, 1997.

Ruslan , Utsman Abdul Mu’iz, Pendidikan Politik Ikhwanul Muslimin: Studi Analisis Evaluatif Terhadap Proses Pendidikan Politik “Ikhwan” Untuk Para Anggota Khususnya dan Seluruh Masyarakat Mesir Umumnya dari tahun 1928 hingga 1954, terj. Safuddin Abu Sayyid , Solo: Era Intermedia, 2000.

Setiawati, Siti Muti’ah.et.al, Irak Di Bawah Kekuasaan Amerika : Dampaknya Bagi Stabilitas Politik Timur Tengah dan Reaksi (rakyat) Indonesia, Yogyakarta: FISIP UGM, 2004.

Tempo edisi 30 September 2001

Triantini, Zusiana Elly, Mengenal Lebih Dekat Gerakan Islam Mesir: Ikhwanul Muslimin, Al-A’raf Vol.III, No.2 Januari-Juni 2007.

Wahyudi, Kyai Yudian,Ph.D, Back To The Qur’an and The Sunna as The Ideal Solution To The Decline Of Islam In The Moder Age 1774-1974 , Yogyakarta: Pesantren Nawesea Press, 2007.

______________________, Maqashid Syari’ah Dalam Pergumulan Politik: Berfilsafat Hukum Islam dari Harvard ke Sunan Kalijaga . Yogyakarta:Pesantren Nawesea Press, 2007.


[1] Antony Black, Pemikiran Politik Islam : Dari Masa Nabi Hingga Masa Kini, terj. Abdullah Ali (Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, 2006),  hlm. 620.

[2] Ali Abdul Halim Mahmud, Metode Pendidikan Ikhwanul Muslimin, terj. Masykur Hakim (Jakarta: Gema Insani Press, 1997), hlm. 202.

[3] Kyai Yudian Wahyudi,Ph.D, Back To The Qur’an and The Sunna as The Ideal Solution To The Decline Of Islam In The Moder Age 1774-1974 (Yogyakarta: Pesantren Nawesea Press, 2007), hlm. 53-54.

[4] Zusiana Elly Triantini, Mengenal Lebih Dekat Gerakan Islam Mesir: Ikhwanul Muslimin, Al-A’raf Vol.III, No.2 Januari-Juni 2007, hlm. 39.

[5] Anwar Al-Jundi, Biografi Hasan Al-Banna, terj. Khalifurrahman Fath (Solo: Media Insani Press, 2003), hlm. 50.

[6] Hasan Al-Banna, Risalah Pergerakan Ikhwanul Muslimin, terj. Anis Matta (Solo: Era Intermedia, 1998), hlm. 17.

[7] Arrafie Abduh, Nuansa Sufistik dalam Gerakan Pemikiran Ikhwan Al-Shafa’ dan Ikhwanul Al-Muslimin , Analytica Islmaica, Vol. 10. No.2., hlm. 455.

[8] Tempo edisi 30 September 2001.

[9] Antony Black, Pemikiran Politik Islam, hlm. 620-621.

[10] Kyai Yudian Wahyudi,Ph.D, Maqashid Syari’ah Dalam Pergumulan Politik: Berfilsafat Hukum Islam dari Harvard ke Sunan Kalijaga (Yogyakarta:Pesantren Nawesea Press, 2007), hlm. 31.

[11] Hasan Al-Banna, Kumpulan Risalah Dakwah Hasan Al-Banna, terj. Khozin Abu Faqih (Jakarta: Al-I’tishom Cahaya Umat, 2005), hlm. 36.

[12] Hasan Al-Banna, Risalah Pergerakan Ikhwanul Muslimin, hlm. 40.

[13] Utsman Abdul Mu’iz Ruslan, Pendidikan Politik Ikhwanul Muslimin: Studi Analisis Evaluatif Terhadap Proses Pendidikan Politik “Ikhwan” Untuk Para Anggota Khususnya dan Seluruh Masyarakat Mesir Umumnya dari tahun 1928 hingga 1954, terj. Safuddin Abu Sayyid (Solo: Era Intermedia, 2000), hlm. 346.

[14] Muhammad Ma’mun Hudaiby, Politik Islam Dalam Pandangan Ikhwanul Muslimin, terj. Engkos Kosasih (Bandung: Syamil, 2003), hlm. 16-17.

[15] Utsman Abdul Mu’iz Ruslan, Pendidikan Politik Ikhwanul Muslimin, hlm. 348.

[16] Ibid., hlm. 350.

[17]Ibid., hlm. 351.

[18] Siti Muti’ah Setiawati.et.al, Irak Di Bawah Kekuasaan Amerika : Dampaknya Bagi Stabilitas Politik Timur Tengah dan Reaksi (rakyat) Indonesia (Yogyakarta: FISIP UGM, 2004), hlm. 40.

[19] Kyai Yudian Wahyudi,Ph.D, Back To The Qur’an and The Sunna, hlm. 56.

[20] Utsman Abdul Mu’iz Ruslan, Pendidikan Politik Ikhwanul Muslimin, hlm. 364.

[21] Ibid., hlm. 366.

[22] Ibid.

[23] Ibid., hlm. 375.

[24] Muhammad Abdullah Al Khathib, Konsep Pemikiran Gerakan Ikhwan, terj. Khozin Abu Faqih ( Bandung : Asy Syamil, 2001), hlm. 194.

[25] Utsman Abdul Mu’iz Ruslan, Pendidikan Politik Ikhwanul Muslimin, hlm. 378.

[26] Ibid., hal 379.

[27] Ibid., hlm. 381.

[28] Ibid., hlm 387.

[29] Hasan Al-Banna, Kumpulan Risalah Dakwah, hlm. 39-40.

[30] Ibid., hlm. 41.

[31] Ibid., hlm. 42.